Saat saya mengklik tombol “leave” di layar komputer, saya merasakan gelombang kelegaan menyapu saya. Akhirnya, hari itu selesai. Tujuh jam pertemuan di Zoom membuat mataku terasa seperti telur goreng. Saya telah duduk sepanjang hari, dan tentu saja membuat saya merasa terkuras secara fisik dan mental. Ini adalah kisah yang akrab bagi kita yang hidup di tengah masa pandemi. Bahkan jika kita tidak memiliki pekerjaan, kemungkinan kita telah menghabiskan lebih banyak waktu menggunakan layar dalam beberapa tahun terakhir. Jangan salah paham: Saya bersyukur atas kesempatan bisa belajar, bekerja, atau melakukan pertemuan dari rumah karena tidak semua orang seberuntung itu. Ternyata kebanyakan orang sebenarnya lebih suka bekerja online jika mereka bisa. Studi terbaru menunjukkan hanya 12 persen pekerja yang ingin kembali ke sistem kerja berbasis kantor, dan 72 persen menginginkan model hybrid online/kantor.
Peristiwa global dan perubahan dalam cara kita bekerja telah memunculkan penyakit baru— Zoom fatigue. Ini adalah perasaan lelah setelah keterlibatan berlebihan pada platform konferensi video. Layar mungkin bukanlah masalah, akan tetapi Alih-alih berbicara hanya dengan satu atau dua orang sekaligus, kita mungkin menangkap informasi dari 50 atau mungkin ratusan wajah online secara bersamaan. Selain munculnya Zoom Fatigue, muncul fakta bahwa lebih sulit untuk menarik batasan yang sehat antara rumah dan sekolah/kantor jika kita bekerja dari rumah. Kaburnya batasan ini tentu saja berdampak buruk pada kesejahteraan kita dan tentunya hal ini menyebabkan stres dan kelelahan. Dalam kondisi seperti itu, sulit untuk benar-benar menjauh dan memiliki istirahat yang berarti. Para siswa mulai mengeluh karena harus lebih banyak menggali informasi untuk belajar sendiri, sambil mengerjakan tugas yang terus menggunung. Bahkan di beberapa negara mulai muncul aksi protes dari serikat pekerja mengenai waktu kerja yang tidak sesuai dengan upah, hingga akhirnya menghasilkan regulasi perundang-undangan yang baru. Namun, ini bukan pertama kalinya istirahat dari pekerjaan ditetapkan sebagai undang-undang. Dalam Sepuluh Perintah, yang ditulis di atas batu dan disampaikan kepada Musa di Gunung Sinai, perintah untuk beristirahat menjadi perintah keempat. “Ingatlah dan kuduskanlah hari Sabat: enam hari lamanya engkau akan bekerja dan melakukan segala pekerjaanmu, tetapi hari ketujuh adalah hari Sabat TUHAN, Allahmu; maka jangan melakukan sesuatu pekerjaan…” ( Keluaran 20:8-10 ). Saya merasa menarik bahwa Tuhan menempatkan perintah untuk beristirahat di jantung Sepuluh Perintah, bersama dengan hukum penting lainnya seperti “Jangan membunuh” dan “Jangan mencuri.” Masyarakat akrab dengan larangan membunuh dan mencuri tetapi anehnya mengabaikan perintah istirahat, meskipun itu diukir tepat di samping yang lain. Tuhan sepertinya memberitahu kita bahwa memiliki hari libur sama pentingnya dengan perintah-perintah lainnya, dan bukan sembarang hari, tetapi hari Sabat .