Apakah sebuah ketaatan merupakan buah dari kerelaan? Ataukah kerelaan hati itu merupakan buah dari ketaatan? Ah, ya… kita tidak akan mainan tebak-tebakkan dan bertanya mana yang lebih dulu ada, telur ayam atau anak ayam? Karena memang kerelaan hati dan ketaatan saling berkelindan dengan pilihan ketaatan seseorang kepada sesuatu atau pada pribadi tertentu dan bukan semata terpaku pada prinsip kausalitas karena yang satu lebih dulu ada dan diikuti oleh yang berikutnya. Memang kalau berbicara tentang ketaatan tidak bisa dilepaskan dari kata kerja ‘memberi’. Sebagaimana yang disampaikan dalam pesan terdalam dari kutipan Alkitab 2 Korintus 9:6-7. Memberi dengan kerelaan hati, tanpa sedih hati, tanpa paksaan, memberi dengan sukacita dan dengan hati yang ikhlas. Sampai di sini kerelaan hati adalah persamaan kata dari keikhlasan hati. Memberi tanpa mengharap kembali. Itulah semangat yang ingin dikobarkan oleh Rasul Paulus saat menuliskan wejangannya kepada kepada jemaat di Korintus.
Berbicara tentang kerelaan hati tentunya tidak berhenti hanya pada kata kerja memberi saja. Ternyata dalam kerelaan hati, paling tidak, ada beberapa spektrum sikap diri yang beragam. Universitas Kristen Duta Wacana sebagai institusi pendidikan di mana kita sekalian bernaung saat ini, memiliki beberapa nilai luhur yang ingin dihayati bersama oleh seluruh sivitas selayaknya udara yang kita hirup setiap saat. Salah satunya adalah nilai ketaatan kepada Allah. Di dalam nilai tersebut terdapat unsur kerelaan hati. Lalu apa kaitan kerelaan hati di sini dengan ketaatan kepada Allah? Terutama di era pandemi seperti saat ini?
Sebagai contoh, penulis pernah terkonfirmasi positif COVID-19 di awal tahun 2021. Apa yang bisa direfleksikan dari pengalaman tersebut terkait dengan kerelaan hati? Dimulai ketika lidah terasa hambar dan tidak merasakan rasa makanan apapun, lalu diikuti dengan hidung yang tidak bisa mencium segala jenis bau-bauan yang ada di sekitarnya. Tentu saja hati siapapun tidak rela bila ‘divonis’ positif sakit, apalagi positif COVID-19. Rasanya ingin berontak. Tapi apa daya, setelah hasil tes antigen keluar, pihak rumah sakit menjelaskan bahwa penulis positif tertular COVID-19 dengan gejala ringan dan mengharuskan penulis untuk segera melakukan isolasi mandiri di rumah. Dengan hati dan perasaan yang tidak karuan penulis melangkahkan kaki menuju pintu kamar Asrama Omah Babadan di Jalan Kaliurang KM.13 yang sudah menanti untuk menyambut penulis masuk dan menjalani masa karantina selama 14 hari. Sebuah label kemudian disematkan ke dada penulis. Sejak hari itu dia resmi menjadi isomaner. Rela atau tidak rela, ya harus direlakan. Rela dalam hal ini berarti pasrah memasuki masa karantina. Kepasrahan ini ternyata menuntun pada kerelaan untuk belajar menyerahkan 14 (empat belas) hari-hari karantina ke dalam tangan Tuhan. Mengapa demikian? Karena kita memang betul-betul tidak pernah tahu bagaimana reaksi tubuh terhadap virus ini di sepanjang 14 hari ke depan ini. Bisa jadi keadaan tubuh saya terus membaik dan sembuh. Atau bisa jadi keadaan saya selama masa inkubasi ini akan menurun drastis dan gulung tikar dari kehidupan. Tentu saja saya hanya mau mengalami kemungkinan yang pertama saja kalau bisa. Puji Tuhan, memang begitulah keadaan saya saat itu.
Kerelaan hati bukanlah tanda bahwa kita harus pasif, berpangku tangan, tidak bergerak sedikitpun atau menunggu nasib menyapa kita. Bukan, bukan begitu. Saya yakin Tuhan tentunya tidak menginginkan itu. Kerelaan hati di sini melahirkan, paling tidak, dalam diri penulis sikap taat dan kemauan keras dalam mengelola masa karantina dengan disiplin diri mengolah pernafasan di pagi dan sore hari dengan senam yoga sederhana dari kanal YouTube, pola makan sehat tiga kali sehari, pola kerja work from home yang harus dituntaskan tanpa harus mengorbankan masa istirahat, patuh minum air matang yang cukup dan pengaturan jam istirahat yang teratur. Ketika menjalani itu semua saya mensyukuri bahwa hari demi hari kesehatan mulai membaik sampai akhirnya setelah 2 (dua) minggu karantina, penulis menjalani tes antigen kembali dan dinyatakan negatif COVID-19, dan boleh beraktifitas kerja kembali.
Pelajaran moral dari pengalaman ini adalah bahwa ketika situasi mengharuskan kita untuk tunduk pada restriksi-restriksi yang terkait langsung vitalitas kehidupan kita sebagai individu dan orang lain di sekitar kita maka tidak ada tindakan yang lebih bijak daripada mengikuti semua aturan yang berlaku dengan totalitas penyerahan diri kepada Tuhan dan tetap berjuang sejauh fisik dan keadaan mendukungnya.
Doa:
Ya Tuhan, pemilik kehidupan kami, arahkanlah dan kuatkanlah kami agar ketika pikiran kami tidak rela mengikuti tuntunan-Mu, gerakkanlah hati kami untuk memilih setia dan taat berserah kepada karya penyelenggaraan-Mu dalam hidup kami. Demi Kristus Putra-Mu kami berdoa, Amin.