Skip to main content

Ester N. Kusumawati, S.Si

Small is beautiful, big is powerful (Djohan, 2019). Demikianlah hal-hal besar tersusun atas kompilasi tak terhingga hal kecil yang saling terhubung dan membentuk sistem. Dalam Biologi, kita pernah tahu tentang kekuatan organisme melakukan aktivitas dipengaruhi oleh DNA di dalam sel hingga sampai membentuk sistem organ yang saling melengkapi dalam satu tubuh makhluk hidup. Lebih besar lagi kita melihat bumiyang sistemnya digerakan oleh miliyaran partikel kecil. Terinspirasi dari sistem hidupan tersebut, tulisan ini lahir untuk kamu. Tulisan ini merupakan bagian pertama dari tetralogi refleksi penulis akan cita menjadi pembelajar yang taat akan Allah, berintegritas, unggul dan berhati melayani dunia. Begitulah sejatinya seorang saintis, semakin mencari ilmu semakin ia menemukan Tuhan.

Hai kamu yang membaca tulisan ini dengan membawa banyak kegagalan tapi juga sedikit asa untuk menutupinya. Selamat!!! Kamu telah berhasil. Beriringan dengan keberhasilan dunia melewati masa pandemi Covid-19. Kamu telah selangkah lebih maju untuk memulai babak baru dalam hidupmu. Kamu telah berhasil mengambil satu langkah, entah dengan kerelaan atau keterpaksaan. Percayalah, dengan atau tidak kamu sadari, melalui OKA ini kamu sudah ada di halaman sampul buku baru di hidupmu. Aku, 5 tahun yang lalu, terbang dari Tanah Sulawesi dengan hati yang belum pulih dari luka penolakan sekian banyak kampus ternama, ada di posisi kamu. Berusaha berdamai dengan diri sendiri dan bersiap menulis cerita baru yang aku inginkan dalam lembar buku baruku.

Ada satu hal yang ingin aku bagikan, aku sadari hal itu lama setelah aku berkuliah. Kalau bisa mengulang waktu, ingin sekali aku sadari itu sejak awal mau memulai kuliah di Duta Wacana, seperti kamu sekarang. Tapi tidak apa, proses yang aku jalani sudah begitu sempurna untukku sehingga aku sampai di titik ini dan rasanya perlu membagikannya untuk kamu.

Pernah dengar frasa klise ‘mencari jati diri’? Pasti sudah sangat umum diusiamu. Tapi, pernahkah terpikir kemana mencarinya? Inilah yang ingin aku bagian dalam tulisan pertamaku ini. Aku mengenalnya sebagai self-awareness atau kesadaran diri. Sebuah upaya untuk mampu mengidentifikasi diri secara utuh, baik itu karakter, emosi, perasaan, pikiran dan cara hidup. Mengenal diri sendiri.

Mengenal diri sendiri yang aku maksud adalah dengan ‘masuk ke dalam’ atau kembali ke diri. Ketika melakukan itu, aku menjumpai Tuhan. Benar kata seorang Pinandita (wakil Pandita Hindu) bahwa Tuhan bersemayam pada diri setiap makhluk, mungkin dalam kekristenan kita kenal sebagai Roh Kudus. Perjumpan itu begitu indah, mampu menolong untuk berdamai dengan diri dan beradaptasi dengan kehidupan. Ingatlah, kita tidak bisa mengontrol kehidupan, tapi kita bisa mengontrol diri kita.

Aku anjurkan agar teman-teman merenungkan ini. Aku merasa perjumpaan dengan Tuhan itu menolongku untuk tetap waras dan berada di jalur yang tepat di tengah ketidaktentuan. Salah satunya ketika dunia diguncang pandemi yang waktu itu belum dimengerti dengan jelas bagaimana ujungnya. Sekarang, pandemi telah menjadi endemi, kita dianggap sudah mampu berdamai dengan keadaan. Tapi jangan lupa, banyak transisi pola hidup dan ditambah dengan gempuran dari luar diri yang begitu masif. Aku beri contoh, flexing di media sosial sesederhana postingan teman-teman kita yang diterima di kampus ternama dan bergaya kian sumringah sampai membuat hati gundah, kasus kekerasan dan pelecehan perempuan di institusi pendidikan, kehilangan orang terkasih, dan banyak lagi hal di luar diri yang membuat kita insecure. Iya, insecure, terminologi yang sudah booming beberapa tahun lalu namun rasanya masih begitu lekat dengan generasi berkepala 3 ke bawah. Termasuk kamu yang mau masuk usia 20-an, yang katanya akan banyak mengalami quarter life crisis (QLC). Self-awareness adalah langkah awal yang membantuku untuk bisa memilah dan memilih yang benar-benar berarti buatku dan yang dapat aku kendalikan (ini soal menjadi stoik, nanti kita cerita lebih dalam kalau kamu tertarik).

Mengenal diri itu candu. Kamu berjumpa dengan Tuhan di sana, berelasi dengan Dia yang menciptakan kamu. Melalui relasi yang baik itu, kamu akan melihat rahmat Tuhan yang besar atas dirimu, talentamu, arti keberadaanmu, dan banyak hal ajaib lainnya. Meski tidak instan, tapi prosesnya sangat nikmat. Kamu akan mengalami banyak pengalaman berharga, kadang kamu jadi tahu dan mengikuti kehendak bebasmu, kadang juga kamu seolah dipaksa untuk rela hati atas yang terjadi dalam hidupmu. Seru sekali. Ketika masuk ke dalam diri, kamu akan mengamati penyesuaian antara maunya kamu dan maunya Tuhan. Tapi tenang saja, semua itu akan bermuara pada satu hal, yaitu martabatmu sebagai manusia.

Sebagian dari kamu mungkin sudah tahu hal ini, sebagian mungkin bertanya ‘bagaimana caranya masuk ke dalam diri yang dari tadi digambarkan begitu abstrak?’ Ini a.l.a. aku, seorang longlife learner yang masih terus belajar. Biasakan merenung. Merenung bukan melamun ya, tapi mengamati diri. Diri yang dimaksud adalah detail fisik tubuh, perasaan, pikiran, perkataan dan perilaku. Mengamati dan menerima dengan jujur tanpa membandingkan dengan siapapun. Misalnya, kondisi hidung pesek yang berjerawat atau perasaan sedih karena ditolak PTN idaman. Sediakan waktu 5-10 menit ketika membuka mata saat bangun dan sebelum menutup mata ketika mau tidur. Gak usah lama-lama dulu, sebentar saja. Kalau sudah terbiasa, diperlama durasinya dan dipersering frekuensinya. Dari langkah praktis itu, kamu akan bisa ngobrol dengan dirimu (gak papa lo bicara sendiri, asal jangan pas kelas, ndag kamu disangka edan meski gak papa juga ya jadi ‘edan’ kayak Eyang Habibie kata Gus Dur). Lam-lama kamu bisa tanya ke dirimu, apa maunya sebenarnya, dalam kondisi ini apa yang bisa dan tidak bisa kamu kendalikan, dan banyak hal lain. Kamu juga memberi waktu untuk Tuhan menyapa kamu secara pribadi, kamu akan jauh lebih tenang. Kalau sudah, berlatihlah mencatat. Ini membantu otak kita memproses informasi yang kita peroleh saat mengamati diri kita dalam permenungan.

Teman-teman, menatap babak baru sebagai mahasiswa seperti menatap sebuah masa depan yang tidak tentu. Dengan atau tanpa ekspektasi, semuanya belum tentu terjadi secara pasti. Satu-satunya hal yang pasti adalah bahwa kita akan berproses. Prosesnya pun akan bervariasi, persislah seperti kontur muka bumi yang bermacam-macam. Namun, sebagaimana besarnya keagungan Tuhan atas bumi yang juga diisi dengan milyaran kehidupan beserta partikel sekecil DNA sebagai penyusunnya, demikian pula indahnya proses kita jika kita awali dengan mengenal diri dan menyadari diri yang kecil ini sebagai mahakarya Sang Pencipta. Yang karenanya, untuk menjadi besar, kita perlu mengecilkan diri di hadapan Tuhan dan menjumpaiNya untuk menjalani relasi yang baik dengan Dia yang adalah awal dan inti kehidupan. Semoga memberkatimu. SORBUM! (Ester)

Leave a Reply