Syahdan, seorang antropolog mengajak sekelompok kanak-kanak dari sebuah suku di Afrika selatan untuk bermain.
Ia menempatkan sekeranjang penuh gula-gula di dekat sebuah pohon yang rindang. Setelah meminta kanak-kanak itu untuk berdiri agak jauh, ia pun menjelaskan aturan permainannya. Sederhana saja, siapa yang pertama kali menyentuh keranjang itu, ia akan mendapatkan semua gula-gula di dalamnya.
Apa yang terjadi ternyata sungguh di luar dugaan si antropolog. Alih-alih berlomba menjadi yang tercepat dan pertama kali menyentuh keranjang, kanak-kanak itu saling bergandengan tangan dan melangkah bersama mendekati keranjang tersebut. Lantas, mereka pun duduk dan bersama menikmat gula-gula dengan penuh keceriaan.
Si antropolog yang terkesima pun tidak dapat menahan diri untuk bertanya, “Mengapa kalian tidak berlomba untuk mendapatkan gula-gula itu? Bukankah, pemenangnya berhak mendapatkan semua gula-gula untuk dirinya sendiri?”
Kanak-kanak itu menatap si antropolog dengan sorot mata yang penuh keheranan. Salah satu di antara mereka pun menimpali si antropolog. “Inilah ubuntu. Setiap kami ada karena kami bersama-sama ada. Bagaimana mungkin salah satu dari kami bisa menikmati seluruh gula-gula ini sementara yang lainnya tidak mendapatkan apa-apa?”
Diakui atau tidak, kisah di atas terdengar terlalu indah untuk menjadi nyata, karena kita hidup di tengah masyarakat yang terlalu kompetitif (hypercompetitive society).
Sebagaimana disinyalir oleh Gil G. Noam, “Dari waktu ke waktu, kita menjadi semakin sibuk dengan gagasan mengenai keberhasilan individual, dan tiada peduli pada dampaknya, sehingga kita pun tersihir oleh pesona kompetisi yang tidak terkendali.” Alih-alih menghayati bahwa masing-masing kita mengada dalam kebersamaan dengan dan bagi yang lain, yang menjadi kelaziman adalah demi mendapatkan yang kita inginkan kita tak segan untuk mengesampingkan, bahkan meniadakan yang lain.
Di tengah pandemi COVID-19 ini, wajah hiperkompetitif masyarakat kita kian menyata.
Di fase awal pandemi, orang-orang berlomba memborong, bahkan juga menimbun masker, hand sanitizer, dan obat-obatan. Dampaknya, kelangkaan terjadi di mana-mana. Semakin memprihatinkan, para petugas medis dan pekerja esensial yang seharusnya diprioritaskan justru kesulitan mendapatkannya. Jamak pihak menisbahkannya dengan kepanikan, tetapi sejatinya inilah salah satu wajah bengis karakteristik hiperkompetitif masyarakat kita.
Wajah bengis tersebut belakangan menyata pula dalam ketidakmerataan distribusi vaksin. Dalam hal ini, artikel Gordon Brown bagi The Guardian memaparkannya dengan lugas. Mantan Perdana Menteri Britania Raya yang saat ini menjabat sebagai duta World Health Organization (WHO) di bidang pembiayaan kesehatan global tersebut menegaskan, “Negara-negara barat tengah menghancurkan kelimpahan dosis vaksin yang telah kedaluwarsa, sementara banyak negara-negara miskin justru belum mendapatkannya.”
Dampaknya, varian-varian baru SARS-CoV-2 pun terus bermunculan di negara-negara miskin yang cakupan vaksinasinya masih rendah. Pada gilirannya, cepat atau lambat, varian-varian baru tersebut menular dan menyebar luas ke seluruh penjuru dunia—membuat imunitas yang didapatkan dari vaksinasi maupun infeksi varian sebelumnya menjadi kurang efektif. Sebagaimana yang telah berulang kali ditegaskan oleh WHO, “Tidak seorang pun benar-benar aman dari COVID-19 sampai semua orang benar-benar aman darinya” (No one is safe from COVID-19 until everyone is safe). Namun, di tengah masyarakat yang semakin hiperkompetitif ini, nasihat Rasul Paulus bagi jemaat di kota Filipi sungguh layak kita renungkan bersama. “Janganlah tiap-tiap orang hanya memperhatikan kepentingannya sendiri, tetapi kepentingan orang lain juga,” tandas sang rasul (2:4).
Pandemi COVID-19 ini semestinya membuka mata kita pada betapa destruktifnya masyarakat yang hiperkompetitif. Saatnya kita menyadari bahwa keunggulan (excellence) yang sejati bukanlah nyata terutama dalam keberhasilan individual, melainkan dalam sumbangsih kita bagi kehidupan dalam kebersamaan. Sejatinya, kita tidak pernah mengada bagi diri kita sendiri. Setiap kita mengada karena kita bersama-sama mengada.
penulis :
artikel inspirasional